Etika bisnis
Pelanggaran terhadap etika bisnis selalu dipicu oleh godaan terhadap keuntungan jangka pendek yang menggiurkan. Pelanggaran terhadap etika acap baru terbukti dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketidakpedulian perusahaan terhadap etika bisnis dapat mengakibatkan kehancuran perusahaan dalam waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kehancuran perusahaan akibat kesalahan dalam penilaian dan kebijakan bisnis namun tetap memperhatikan etika bisnis.
Akibat buruk dari perilaku yang tidak etis bukan hanya akan menimpa perusahaan itu sendiri namun juga menimpa masyarakat secara umum. Seperti dalam kasus subprime mortgage di atas, kerugian juga menimpa banyak investor di berbagai pasar saham di dunia, akibat berkurangnya nilai aset yang mereka miliki.
Perilaku bisnis yang tidak etis akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Selain melahirkan persepsi yang buruk di mata masyarakat, dampak negatif lainnya adalah menurunnya moral karyawan akibat beban psikologis karena bekerja pada perusahaan yang memiliki citra buruk, terpaksa dikeluarkannya biaya untuk mengatasi citra buruk yang ada, dan ketidakpercayaan publik terhadap segala tindakan yang dilakukan perusahaan di masa depan.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa setiap sistem etika bisnis harus mengakui adanya keterkaitan antara aktivitas bisnis dan kehidupan di luar bisnis yang akan memengaruhi bukan hanya karyawan, namun juga teman, keluarga, dan masyarakat secara umum.
Keputusan bisnis juga merupakan bagian dari keputusan dalam kehidupan secara keseluruhan yang memiliki dampak melewati batas-batas ruang kerja. Jadi perilaku bisnis yang etis bukan hanya bagian dari norma perusahaan, tetapi juga norma masyarakat secara keseluruhan.
Manajemen risiko
Namun, tidak seperti skandal Enron dan WorldCom, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran etika bisnis, kasus subprime mortgage barangkali masih berada di wilayah abu-abu. Benarkah karena pelanggaran etika bisnis atau manajemen risiko yang tidak berjalan dengan semestinya?
Penerapan manajemen risiko yang terintegrasi, akan dapat menangkal terjadinya krisis semacam ini. Berbagai risiko diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya risiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur.
elalui pengelolaan risiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.
Pada galibnya, proses bermula dari analisis secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisis kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap risiko yang ada. Namun, identifikasi saja tidaklah cukup.
Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi risiko dengan baik sehingga tahu benar risiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, tetapi salah dalam melakukan antisipasi.
Pertanyaannya, untuk perusahaan sekelas Citigroup seharusnya sudah memiliki manajemen risiko yang cukup canggih, seberapa besar kemungkinannya mengalami kesalahan antisipasi? Disinilah pertanyaan muncul, adakah masalah etika bisnis di dalamnya?
Sumber : Oleh: A. B. Susanto
http://web.bisnis.com/kolom/2id705.html/google
Jumat, 19 November 2010
Kamis, 18 November 2010
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN ( csr)
Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis sudah tentu adalah meningkatkan keuntungan. Logika ekonomi neoklasik adalah bahwa dengan meningkatnya keuntungan dan kemakmuran sebuah perusahaan sudah pasti akan meningkatkan kemakmuran rakyat karena lebih efisien dan murah produk yang dihasilkan.
Kenyataannya tidak demikian, banyak perusahaan bukan hanya makin kaya tetapi juga semakin berkuasa sementara penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan makin banyak. Kemajuan perusahan juga menyumbang ketidak-adilan dan kesenjangan sosial. Pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.
Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar muncul berbagai reaksi untuk memperbaiki persoalan kesenjangan. Antara lain program pengentasan kemiskinan, perbaikan kesejahteraan, bantuan subsidi langsung dan sebagainya. Itu jika dilakukan oleh pemerintah sebagai unsur negara yang yang mempunyai peran penting di situ. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya ini sering tidak membawa hasil atau tidak berkelanjutan.
Namun bagaimana dengan swasta? Swasta dapat dikatakan sering mempunyai kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada suatu negara. Data menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar dan kaya jika digabungkan akan mempunyai kekayaan yang lebih besar dari negara. Kekuasaan perusahaan swasta di manapun di dunia sering mampu mendikte pembuatan atau pembaruan kebijakan dan peraturan perundangan suatu negara bahkan politik dan kepemimpinan negara dan daerah. Swastapun mempunyai program-program sosial seperti bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), outreach,beasiswa, penyediaan dana filantropis dan sebagainya. Tetapi banyak juga yang tidak berkelanjutan.
Pada saat banyak perusahaan semakin besar dan semakin kaya pada saat itu pula semakin banyak orang miskin dan semakin rusak lingkungan sekitarnya. Karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negative ini.
Kita sedang berhadapan dengan dunia yang tidak adil dan tidak seimbang. Pada saat ini hanya 20 persen penduduk dunia yang menikmati begitu banyak manfaat atas kekayaan alam dan hasil bumi. Mereka menikmati 85 persen pengeluaran dunia untuk konsumsi, menikmati 45 persen daging yang dikonsumsi, 65 persen listrik, menggunakan 84 persen kertas, menggunakan 85 persen logam dan bahan kimia namun menghasilkan 70 persen emisi gas karbon dioksida di seluruh dunia. Sangat tidak adil. Kesemua konsumsi ini merupakan peluang pasar yang lebih besar dinikmati mereka namun menimbulkan dampak negatif yang diderita masyarakat kecil.
Jika negara dan perusahaan swasta besar digabung sebagai kekuatan ekonomi dunia maka dari 100 kelompok ekonomi dunia 51 dikuasai swasta sedangkan 49 dikuasai negara termasuk negara-negara besar, adikuasa dan industri maju. Jika sepuluh negara besar dikeluarkan dari daftar ini maka kekayaan 200 perusahaan besar dunia melebuihi kekayaan semua negara lain di dunia ini. Laba sebuah perusahaan Microsoft tahun 2003 mencapai hampir Rp.274 trilyun padahal APBN Indonesia tahun 2004 berjumlah Rp. 341 trilun.
Ketidak-adilan ini menimbulkan ketidakpuasan bahwa globalisasi hanya menguntungkan pihak yang kuat dan kaya. Kekuasaan dan penguasaan atas sumberdaya alam serta kekayaan ada di tangan di perusahaan multinasional yang bisa mendikte negara lain (baik negara maju maupun negara miskin) sehingga negara tertentu bisa kehilangan kedaulatan atas sumberdaya alam bahkan kehilangan kebebasan dan kedaulatan negaranya serta meningkatkan ekploitasi tenaga kerja dan turut memperbesar degradasi sumberdaya alam.
Semakin banyak muncul ketidakpuasan bahkan kemarahan di kalangan rakyat sebuah negara karena kekayaan alamnya dikuasai perusahaan asing atau perusahaan multinasional. Melihat tekanan yang semakin besar oleh perusahaan (corporation) multinasional pada negara muncul pertanyaan apa yang bisa dibuat oleh perusahaan multinasional? Apa tanggung jawab mereka atas lingkungan dan masyarakat sekitar?
Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), dan Corporate Citizenship (CC). Corporate Social Responsibility (CSR) adalah pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Corporate Citizenship (CC) adalah cara perusahaan bersikap atau memperlihatkan perilaku ketika berhadapan dengan para pihak lain sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif.
Corporate Citizenship juga menyangkut pada masalah pembangunan social (social development) dan dilakukan pada konteks partnership dan tata kelola (governnance. Prinsip ini memperhatikan pembangunan masyarakat, perlindungan dan pelestarian lingkungan untuk keberlanjutan lingkungan dan membantu memperbaiki kualitas hidup manusia. Corporate citizenship ini dilakukan melalui manajemen internal yang lebih baik, membantu memberikan bantuan sumberdaya untuk pembangunan sosial dan kemitraan dengan masyarakat bukan bisnis dan masyarakat luas.
Dengan meningkatnya peran swasta antara lain melalui pasar bebas, privatisasi dan globalisasi maka swasta semakin luas berinteraksi dan bertanggung jawab serta memiliki tanggung jawab sosial dengan masyarakat dan pihak lain. Didalam ekonomi moderen peranan pemerintah semakin berkurang tidak terkecuali dalam hal pelayanan publik. Pelayanan publik yang dulu dikuasai pemerintah kini diambil alih swasta dengan manajemen dan kualitas yang lebih baik. Namun tentu saja harus dibayar dengan lebih mahal oleh publik untuk mendapatkan kualitas yang baik.
Tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya dalam bidang pembangunan sosial dan ekonomi tetapi juga dalam hal lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui tiga pilar utama dalam corporate citizenhip adalah keuangan, social dan lingkungan. Tentu saja perusahaan swasta harus bekerja sama dengan pihak lain dalam hal ini pemerintah dan masyarakat (termasuk ornop, parta politik dan masyarakat luas).
Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.
Teori, konsep dan prinsip CSR memang menarik bagus dan lengkap tetapi apakah dapat dilaksanakan? Tanggung jawab soaial perusahaan tidak bisa hanya pada perusahaan industri yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Tetapi juga sektor keuangan atau financial seperti lembaga keuangan bank dan bukan bank. Persoalannya banyak industri yang merusak lingkungan, melanggar HAM, melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak sering bertahan dan berkuasa dengan tetap menerima kredit dari perusahaan-perusahan keuangan yang kuat dan berkuasa di dunia. Motivasi mencari laba bisa menghambat keinginan untuk membangun masyarakat dan lingkungan sekiarnya. Sejauh ini kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mewajibkan perusahan swasta untuk menjalankan tanggung jawab sosial ini tidak begitu jelas
Sumber :http://www.beritabumi.or.id/artikelvt.php?idartikel=173
http://goodcsr.wordpress.com/about/artikel/google
Kenyataannya tidak demikian, banyak perusahaan bukan hanya makin kaya tetapi juga semakin berkuasa sementara penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan makin banyak. Kemajuan perusahan juga menyumbang ketidak-adilan dan kesenjangan sosial. Pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.
Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar muncul berbagai reaksi untuk memperbaiki persoalan kesenjangan. Antara lain program pengentasan kemiskinan, perbaikan kesejahteraan, bantuan subsidi langsung dan sebagainya. Itu jika dilakukan oleh pemerintah sebagai unsur negara yang yang mempunyai peran penting di situ. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya ini sering tidak membawa hasil atau tidak berkelanjutan.
Namun bagaimana dengan swasta? Swasta dapat dikatakan sering mempunyai kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada suatu negara. Data menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar dan kaya jika digabungkan akan mempunyai kekayaan yang lebih besar dari negara. Kekuasaan perusahaan swasta di manapun di dunia sering mampu mendikte pembuatan atau pembaruan kebijakan dan peraturan perundangan suatu negara bahkan politik dan kepemimpinan negara dan daerah. Swastapun mempunyai program-program sosial seperti bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), outreach,beasiswa, penyediaan dana filantropis dan sebagainya. Tetapi banyak juga yang tidak berkelanjutan.
Pada saat banyak perusahaan semakin besar dan semakin kaya pada saat itu pula semakin banyak orang miskin dan semakin rusak lingkungan sekitarnya. Karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negative ini.
Kita sedang berhadapan dengan dunia yang tidak adil dan tidak seimbang. Pada saat ini hanya 20 persen penduduk dunia yang menikmati begitu banyak manfaat atas kekayaan alam dan hasil bumi. Mereka menikmati 85 persen pengeluaran dunia untuk konsumsi, menikmati 45 persen daging yang dikonsumsi, 65 persen listrik, menggunakan 84 persen kertas, menggunakan 85 persen logam dan bahan kimia namun menghasilkan 70 persen emisi gas karbon dioksida di seluruh dunia. Sangat tidak adil. Kesemua konsumsi ini merupakan peluang pasar yang lebih besar dinikmati mereka namun menimbulkan dampak negatif yang diderita masyarakat kecil.
Jika negara dan perusahaan swasta besar digabung sebagai kekuatan ekonomi dunia maka dari 100 kelompok ekonomi dunia 51 dikuasai swasta sedangkan 49 dikuasai negara termasuk negara-negara besar, adikuasa dan industri maju. Jika sepuluh negara besar dikeluarkan dari daftar ini maka kekayaan 200 perusahaan besar dunia melebuihi kekayaan semua negara lain di dunia ini. Laba sebuah perusahaan Microsoft tahun 2003 mencapai hampir Rp.274 trilyun padahal APBN Indonesia tahun 2004 berjumlah Rp. 341 trilun.
Ketidak-adilan ini menimbulkan ketidakpuasan bahwa globalisasi hanya menguntungkan pihak yang kuat dan kaya. Kekuasaan dan penguasaan atas sumberdaya alam serta kekayaan ada di tangan di perusahaan multinasional yang bisa mendikte negara lain (baik negara maju maupun negara miskin) sehingga negara tertentu bisa kehilangan kedaulatan atas sumberdaya alam bahkan kehilangan kebebasan dan kedaulatan negaranya serta meningkatkan ekploitasi tenaga kerja dan turut memperbesar degradasi sumberdaya alam.
Semakin banyak muncul ketidakpuasan bahkan kemarahan di kalangan rakyat sebuah negara karena kekayaan alamnya dikuasai perusahaan asing atau perusahaan multinasional. Melihat tekanan yang semakin besar oleh perusahaan (corporation) multinasional pada negara muncul pertanyaan apa yang bisa dibuat oleh perusahaan multinasional? Apa tanggung jawab mereka atas lingkungan dan masyarakat sekitar?
Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), dan Corporate Citizenship (CC). Corporate Social Responsibility (CSR) adalah pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Corporate Citizenship (CC) adalah cara perusahaan bersikap atau memperlihatkan perilaku ketika berhadapan dengan para pihak lain sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif.
Corporate Citizenship juga menyangkut pada masalah pembangunan social (social development) dan dilakukan pada konteks partnership dan tata kelola (governnance. Prinsip ini memperhatikan pembangunan masyarakat, perlindungan dan pelestarian lingkungan untuk keberlanjutan lingkungan dan membantu memperbaiki kualitas hidup manusia. Corporate citizenship ini dilakukan melalui manajemen internal yang lebih baik, membantu memberikan bantuan sumberdaya untuk pembangunan sosial dan kemitraan dengan masyarakat bukan bisnis dan masyarakat luas.
Dengan meningkatnya peran swasta antara lain melalui pasar bebas, privatisasi dan globalisasi maka swasta semakin luas berinteraksi dan bertanggung jawab serta memiliki tanggung jawab sosial dengan masyarakat dan pihak lain. Didalam ekonomi moderen peranan pemerintah semakin berkurang tidak terkecuali dalam hal pelayanan publik. Pelayanan publik yang dulu dikuasai pemerintah kini diambil alih swasta dengan manajemen dan kualitas yang lebih baik. Namun tentu saja harus dibayar dengan lebih mahal oleh publik untuk mendapatkan kualitas yang baik.
Tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya dalam bidang pembangunan sosial dan ekonomi tetapi juga dalam hal lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui tiga pilar utama dalam corporate citizenhip adalah keuangan, social dan lingkungan. Tentu saja perusahaan swasta harus bekerja sama dengan pihak lain dalam hal ini pemerintah dan masyarakat (termasuk ornop, parta politik dan masyarakat luas).
Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.
Teori, konsep dan prinsip CSR memang menarik bagus dan lengkap tetapi apakah dapat dilaksanakan? Tanggung jawab soaial perusahaan tidak bisa hanya pada perusahaan industri yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Tetapi juga sektor keuangan atau financial seperti lembaga keuangan bank dan bukan bank. Persoalannya banyak industri yang merusak lingkungan, melanggar HAM, melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak sering bertahan dan berkuasa dengan tetap menerima kredit dari perusahaan-perusahan keuangan yang kuat dan berkuasa di dunia. Motivasi mencari laba bisa menghambat keinginan untuk membangun masyarakat dan lingkungan sekiarnya. Sejauh ini kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mewajibkan perusahan swasta untuk menjalankan tanggung jawab sosial ini tidak begitu jelas
Sumber :http://www.beritabumi.or.id/artikelvt.php?idartikel=173
http://goodcsr.wordpress.com/about/artikel/google
Minggu, 14 November 2010
PELANGGARAN YANG DILAKUKAN PERUSAHAAN
• Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan
sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah,
karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum
ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini
perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan
pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan
kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah
memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar
angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah
jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih
dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam
kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
sumber : http://adulaja.blogspot.com/2010/01/contoh-pelanggaran-etika-bisnis.html
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan
sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah,
karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum
ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini
perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan
pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan
kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah
memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar
angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah
jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih
dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam
kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
sumber : http://adulaja.blogspot.com/2010/01/contoh-pelanggaran-etika-bisnis.html
Langganan:
Postingan (Atom)